Mengatasi Kesiapan Sosial Emosional Anak di Masa Transisi |
"Mau main kemana? Gak ada temen. Si Fathir udah gak asik diajak pergi main", sahutnya dengan wajah cemberut.
"Lho kok, memang ada apa. Kan biasanya sering jalan bareng?", tanyaku semakin mengintrogasi. Si sulung malah terdiam, mendadak terisak-isak menangis. Dia semakin gak mau menjawab.
"Lhaaa kok nangis? Udah lama gak temenan lagi, apa ada masalah? Kenapa gak pernah cerita ke bunda?", tanyaku kembali membuka pembicaraan.
"Ya gimana mau cerita, bunda sibuk terus. Kerja terus. Gak pernah ngasih kesempatan kakak ngomong. Dari kakak kecil, bunda suka ngelarang cerita-cerita, bunda bilang jangan berisik", jawabnya sambil mengusap air matanya.
Deg! Kaget aku mendengarnya. Segitu traumanya kah? Mendadak tubuhku lemes, merasa bersalah, gak sempurna jadi orangtua. Memang dulu aku galak, mungkin karena terlalu penat, sehingga melampiaskan kepadanya. Gak sangka, selama bertahun-tahun dia memendam perasaan ini.
"Ya Allah kak, maafin bunda yaa. Lagian itu kan dulu. Masih kesel ya? Bunda sayang kok sama kamu. Kan tauuu gimana kondisi kita. Coba deh sehari aja jadi bunda, pasti kamu akan paham kenapa tiba-tiba bunda bisa meledak dan marah".
Kudekati dirinya, duduk bersebelahan, dirangkul bahu bidangnya. Kesempatan ini sekalian dimanfaatkan untuk membuka semua masalah yang selama ini kupendam. Memang sudah waktunya anak-anak harus tau kelemahan orangtuanya, tak selamanya terlihat indah. Mereka juga harus peka, berempati, dan bersabar dengan kondisi sekitarnya.
"Ya gimana mau cerita, bunda sibuk terus. Kerja terus. Gak pernah ngasih kesempatan kakak ngomong. Dari kakak kecil, bunda suka ngelarang cerita-cerita, bunda bilang jangan berisik", jawabnya sambil mengusap air matanya.
Deg! Kaget aku mendengarnya. Segitu traumanya kah? Mendadak tubuhku lemes, merasa bersalah, gak sempurna jadi orangtua. Memang dulu aku galak, mungkin karena terlalu penat, sehingga melampiaskan kepadanya. Gak sangka, selama bertahun-tahun dia memendam perasaan ini.
"Ya Allah kak, maafin bunda yaa. Lagian itu kan dulu. Masih kesel ya? Bunda sayang kok sama kamu. Kan tauuu gimana kondisi kita. Coba deh sehari aja jadi bunda, pasti kamu akan paham kenapa tiba-tiba bunda bisa meledak dan marah".
Kudekati dirinya, duduk bersebelahan, dirangkul bahu bidangnya. Kesempatan ini sekalian dimanfaatkan untuk membuka semua masalah yang selama ini kupendam. Memang sudah waktunya anak-anak harus tau kelemahan orangtuanya, tak selamanya terlihat indah. Mereka juga harus peka, berempati, dan bersabar dengan kondisi sekitarnya.
"Sekali lagi maafin ya, kak". Dia mengangguk. Kami kembali saling memaafkan dan alhamdulillah sejak kejadian itu dia mulai terlihat ceria, mau berbaur kembali dengan adik-adiknya. Komunikasi mereka terajut kembali dengan indah.
Jujur, sampai hari ini aku merasa sedih. Pandemi sukses merubah sikap perilaku anak-anak, apalagi kita sebagai orangtua. Adanya pembatasan fisik dan sosial membuat kita memang kehilangan interaksi dengan sesama. Ditambah perekonomian yang sering naik turun, seringkali menambah stress. Ujung-ujungnya marah sama anak.
Kalau kita mau sadar, mereka pun pasti sedih dan bingung gak bisa kemana-mana, disuruh di rumah terus, mau keluar rumah harus pakai masker. Bosan tapi gak bisa mengungkapkan, mau balik marah ke orangtua dianggap durhaka. Kalau begini terus, wajar lama-lama mental mereka terganggu, ikut emosional, mudah nangis, jadi pemalu, males ketemu orang baru. Seperti ceritaku sebelumnya, kan?
Masa Transisi Membuat Sosial Emosional Anak Terganggu.
Jujur, sampai hari ini aku merasa sedih. Pandemi sukses merubah sikap perilaku anak-anak, apalagi kita sebagai orangtua. Adanya pembatasan fisik dan sosial membuat kita memang kehilangan interaksi dengan sesama. Ditambah perekonomian yang sering naik turun, seringkali menambah stress. Ujung-ujungnya marah sama anak.
Kalau kita mau sadar, mereka pun pasti sedih dan bingung gak bisa kemana-mana, disuruh di rumah terus, mau keluar rumah harus pakai masker. Bosan tapi gak bisa mengungkapkan, mau balik marah ke orangtua dianggap durhaka. Kalau begini terus, wajar lama-lama mental mereka terganggu, ikut emosional, mudah nangis, jadi pemalu, males ketemu orang baru. Seperti ceritaku sebelumnya, kan?
Hal ini, bukan saja berpengaruh pada anak sulungku. Anak bungsuku pun mengalami masalah sosial emosional. Dia tak mau kehilangan teman sebangkunya di taman kanak-kanak. Padahal sebentar lagi dia mau SD.
Setiap kali diajak ngobrol mengenai sekolah barunya nanti, spontan kepalanya menggeleng, bibirnya manyun: "adek gak mau ketemu temen baru, maunya sama Rafa aja. Adek masih mau sekolah TK aja". Ya Allah, hatiku ikut tercabik-cabik, pasti sedih banget kehilangan teman baik.
Memasuki masa transisi pada rutinitas dan lingkungan baru itu memang cukup menakutkan bagi sebagian orang, termasuk anak-anakku. Harus beradaptasi dengan suasana baru itu memang butuh proses adaptasi yang cukup lama, terutama bagi anak yang introvert, gak semudah membalikkan telapak tangan
Tetapi mau sampai kapan begini? Kalau dibiarkan akan membahayakan jiwa. Masalah kesehatan bukan menyerang tubuh saja, tetapi bisa mempengaruhi pikiran dan mental. Gak heran makin banyak kan orang yang mengalami hal ini? Bipolar, gangguan emosi, apatis, dan sebagainya.
4 Tips Mengatasi Kesiapan Sosial Emosional Anak di Masa Transisi
Kalau anak mengalami sosial emosional seperti ini, setiap keluarga diharapkan dapat merespon dengan cepat. Segera mengatasi terhadap perubahan-perubahan perilaku dan harus mencari jalan agar dapat menguatkan fungsi-fungsi keluarga supaya mampu menghadapi situasi yang tidak diinginkan.
Nah, pas banget, memperingati Hari Keluarga Nasional yang jatuh pada tanggal 29 Juni, Danone Indonesia menyelenggarakan kegiatan webinar yang mengangkat tema Kiat Keluarga Indonesia Optimalkan Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi.
Ini seperti menjawab masalah sosial emosional generasi Z yang ternyata banyak yang stress, termasuk orangtuanya. Dalam acara ini menghadirkan pembicara ahli, antara lain:
• dr. Irma Ardiana, MAPS, Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak
• Dr. dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH, dokter Spesialis Tumbuh Kembang Anak
• Ibu Cici Desri, Inspiratif Mom & Founder Joyful Parenting 101
Adapun 4 Tips mengatasi sosial emosional anak yang bisa disimpulkan dalam penjabaran para ahli, antara lain:
Adapun 4 Tips mengatasi sosial emosional anak yang bisa disimpulkan dalam penjabaran para ahli, antara lain:
1. Siap Menjadi Orangtua Sejak Awal Pernikahan dan Kelahiran Anak
Bapak Arif Mujahidin, Corporate Communications Director Danone Indonesia mengatakan, “Momen transisi menjadi kesempatan baik untuk mengasah dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak, utamanya dalam perkembangan sosial emosionalnya. Anak usia dini pada dasarnya rentan karena mereka bergantung pada orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan paling dasarnya. Kami memahami bahwa anak membutuhkan lingkungan terdekatnya untuk merangsang dan memberikan kesempatan tumbuh kembang yang optimal.”
Arif menambahkan, “Sebagai perusahaan yang ramah keluarga, kami juga memberikan dukungan kepada para orangtua agar si Kecil dapat tumbuh optimal melalui pemberian cuti melahirkan bagi karyawan kami yakni cuti 6 bulan bagi ibu dan 10 hari bagi ayah. Kami juga secara aktif memberikan edukasi seputar kesehatan dan nutrisi untuk publik seperti halnya dalam Bicara Gizi hari ini.
Kami berharap kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kolaborasi orangtua untuk dapat memberikan stimulus yang tepat agar mencapai keberhasilan dalam mengembangkan aspek sosial emosional anak.”
2. Buat pembagian peran keluarga, bangun Komunikasi, negosiasi, kompromi, dan pendekatan inklusif di dalam mengambil keputusan.
Mengenai pola asuh, survei BKKBN mengungkapkan bahwa selama pandemi COVID-19, 71,5% pasangan suami istri telah melakukan pola asuh kolaboratif, 21,7% mengatakan istri dominan, dan 5,8% hanya istri saja. Di sisi lain, data UNICEF menyebutkan bahwa selama pandemi orang tua mengalami tingkat stress dan depresi yang lebih tinggi, serta menilai pengasuhan anak di rumah saja memiliki risiko tersendiri. Kondisi ini sangat mungkin menghambat kemampuan orang tua untuk mengatasi emosi dan kebutuhan psikologis anak.
dr. Irma Ardiana, MAPS selaku Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjelaskan gaya pengasuhan memengaruhi perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak. Pengasuhan bersama menekankan komunikasi, negosiasi, kompromi, dan pendekatan inklusif untuk pengambilan keputusan dan pembagian peran keluarga. “Pengasuhan bersama antara ayah dan ibu menawarkan cinta, penerimaan, penghargaan, dorongan, dan bimbingan kepada anak-anak mereka.
dr. Irma Ardiana, MAPS selaku Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjelaskan gaya pengasuhan memengaruhi perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak. Pengasuhan bersama menekankan komunikasi, negosiasi, kompromi, dan pendekatan inklusif untuk pengambilan keputusan dan pembagian peran keluarga. “Pengasuhan bersama antara ayah dan ibu menawarkan cinta, penerimaan, penghargaan, dorongan, dan bimbingan kepada anak-anak mereka.
Peran orang tua yang tepat dalam memberikan dorongan, dukungan, nutrisi, dan akses ke aktivitas untuk membantu anak memenuhi milestone aspek perkembangan merupakan hal yang penting. Dalam konteks percepatan penurunan stunting, pengasuhan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi sangat penting untuk memastikan kebutuhan nutrisi dan psiko-sosial sejak janin sampai dengan anak usia 23 bulan.
Peran Tim Pendamping Keluarga menjadi krusial untuk mendampingi keluarga berisiko stunting dalam pemberian informasi pengasuhan di Bina Keluarga Balita. Pola asuh yang tepat dari orangtua dinilai mampu membentuk anak yang hebat dan berkualitas di masa depan.”
3. Tumbuhkan Kecerdasan Sosial Emosional Anak mulai dari genetik, kecerdasan otak, sistem pencernaan yang sehat, dan lingkungan yang baik
Dokter Spesialis Tumbuh Kembang Anak Dr. dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH menjelaskan bahwa aspek sosial dan emosional sangat penting bagi anak untuk mencapai semua aspek kehidupannya dan bersaing di fase kehidupan selanjutnya dimulai dari remaja hingga lanjut usia.
Perkembangan sosial emosional anak khususnya di masa transisi pasca pandemi saat ini harus diwaspadai. Bagi anak-anak, menghadapi perubahan ruang dan rutinitas baru saat kembali, cukup membingungkan.
"Menjalani kehidupan dan interaksi sosial yang baru bisa menambah masalah sosial-emosional, dampaknya bisa berbeda, tergantung dengan usia anak dan dukungan dari lingkungannya", begitu sambungnya.
Gangguan perkembangan emosi dan sosial dapat mempengaruhi terjadinya masalah kesehatan di masa dewasa, seperti gangguan kognitif, depresi, dan potensi penyakit tidak menular.
Dokter Bernie juga menjelaskan mengenai fakta bahwa perkembangan emosi dan sosial berkaitan erat dengan kecerdasan otak dan sistem pencernaan yang sehat. Ketiganya saling terkait dan berpengaruh signifikan terhadap tumbuh kembang anak agar anak dapat tumbuh menjadi anak hebat.
“Agar anak-anak dapat beradaptasi kembali dengan normal, memiliki keterampilan sosial-emosional yang memadai, serta memiliki kemampuan berpikir yang baik, maka orang tua perlu memantau perkembangan sosial emosional anak secara berkala serta memberikan stimulasi dan nutrisi yang tepat.” ungkap dr. Bernie.
Dokter Bernie juga menjelaskan mengenai fakta bahwa perkembangan emosi dan sosial berkaitan erat dengan kecerdasan otak dan sistem pencernaan yang sehat. Ketiganya saling terkait dan berpengaruh signifikan terhadap tumbuh kembang anak agar anak dapat tumbuh menjadi anak hebat.
“Agar anak-anak dapat beradaptasi kembali dengan normal, memiliki keterampilan sosial-emosional yang memadai, serta memiliki kemampuan berpikir yang baik, maka orang tua perlu memantau perkembangan sosial emosional anak secara berkala serta memberikan stimulasi dan nutrisi yang tepat.” ungkap dr. Bernie.
4. Mendorong Anak Untuk Ungkapkan Pikiran dan Perasaan secara verbal sehingga Orangtua Tahu yang Dirasakannya Secara Emosional
Ibu Inspiratif Founder Joyful Parenting 101 Cici Desri menceritakan pengalamannya saat mempersiapkan si Kecil menghadapi transisi untuk kembali berinteraksi dengan lingkungan sosial. “Setelah menjalani pembatasan sosial selama hampir dua tahun, saya melihat ada banyak tantangan yang dihadapi si Kecil untuk kembali bersosialisasi dengan dunia luar.
Proses adaptasi pun tidak selalu berjalan dengan mudah, mulai dari kekagetan si Kecil yang bertemu dengan banyak orang baru, beraktivitas dan berinteraksi dengan banyak orang membuat si kecil kadang juga menjadi frustasi. Menghadapi hal tersebut, saya dan suami mengambil bagian dalam pengasuhan dan memperkuat keterlibatan dengan si Kecil terlebih pada fase transisi saat ini,” kisah Cici.
Cici menceritakan sebagai orangtua, ia dan suami, mendorong si Kecil untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara verbal sehingga mereka dapat mengetahui apa yang dirasakan si Kecil secara emosional. Selain itu ia juga menghubungi guru dan staf terkait lainnya di sekolah si Kecil untuk memantau cara si Kecil mengatasi dan mengikuti tugas atau kegiatan. Ia juga berkonsultasi dengan Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang untuk mengetahui lebih jauh upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang si Kecil.
“Kami memahami bahwa fase membangun hubungan baru merupakan sebuah keterampilan. Si Kecil dapat menguasainya dengan dukungan yang tepat, terutama dari keluarga. Melalui interaksi sosial secara tatap muka langsung, si Kecil mampu menumbuhkan rasa kepercayaan baru dan merasakan kenyamanan berada di lingkungan barunya. Dengan begitu, saya yakin si Kecil bisa tumbuh menjadi anak hebat yang pintar, berani, dan memiliki empati tinggi,” tutup Cici.
Seperti poin ketiga yang diungkapkan dr. Bernie, bahwa kecerdasan sosial emosional anak bisa dimulai dari hari pertama kehamilan dengan dukungan nutrisi dan kesehatan yang optimal. Disinilah orangtua harus cerdas memilih asupan makanan dan minuman yang sehat. Sudah ada produk-produk berkualitas dari Danone SN Indonesia.
Cici menceritakan sebagai orangtua, ia dan suami, mendorong si Kecil untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara verbal sehingga mereka dapat mengetahui apa yang dirasakan si Kecil secara emosional. Selain itu ia juga menghubungi guru dan staf terkait lainnya di sekolah si Kecil untuk memantau cara si Kecil mengatasi dan mengikuti tugas atau kegiatan. Ia juga berkonsultasi dengan Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang untuk mengetahui lebih jauh upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang si Kecil.
“Kami memahami bahwa fase membangun hubungan baru merupakan sebuah keterampilan. Si Kecil dapat menguasainya dengan dukungan yang tepat, terutama dari keluarga. Melalui interaksi sosial secara tatap muka langsung, si Kecil mampu menumbuhkan rasa kepercayaan baru dan merasakan kenyamanan berada di lingkungan barunya. Dengan begitu, saya yakin si Kecil bisa tumbuh menjadi anak hebat yang pintar, berani, dan memiliki empati tinggi,” tutup Cici.
Bukti Dukungan Danone Specialized Nutrition Indonesia Pada Tumbuh Kembang Anak Sejak Awal Kehidupan.
Pas banget kan? Jadi, selain mendukung orangtua membersamai anak sejak lahir dengan memberikan cuti, Danone Specialized Nutrition (SN) Indonesia, bagian dari Danone Global, juga fokus dalam penyediaan nutrisi pada makanan dan minuman bagi konsumen di Indonesia agar lebih sehat, terutama nutrisi untuk setiap tahapan penting kehidupan, yaitu 3.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Danone SN Indonesia mendukung perkembangan kesehatan ibu dan anak ini dengan menghadirkan produk bergizi yang dibutuhkan. Sebelumnya melalui kegiatan riset dan pengembangan produk yang inovatif sehingga aman, seperti SGM Eksplor, SGM Bunda, Lactamil, Bebelac, Nutrilon Royal, dan nutrisi medis khusus.
Selain dengan produk bernutrisi, Danone SN Indonesia juga melakukan upaya mengatasi masalah kesehatan melalui berbagai kegiatan edukasi dan kolaborasi mengenai pentingnya kesehatan dan gizi, seperti: Program Bicara Gizi, Program Pencegahan Stunting, Isi Piringku, Bunda Mengajar, dan Rumah Bunda Sehat.
Danone SN Indonesia berkomitmen mewujudkan praktik bisnis yang kontinue dan berkontribusi pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Saat ini, Danone SN Indonesia berfokus dalam membangun visi dan komitmen 2025, tetap patuh terhadap peraturan maupun undang-undang di bidang lingkungan, sosial, maupun ekonomi.
Danone SN Indonesia selalu berupaya memberdayakan dan mengedukasi masyarakat dengan berbagai program-program yang bertujuan untuk mengembangkan kesehatan dan gizi, mengoptimalkan pendidikan anak usia dini, mengembangkan ekonomi lokal, dan memperjuangkan kesetaraan. Program-program tersebut antara lain Generasi Sehat Indonesia (GESID), Taman Pintar, Bunda Mengajar dan Duta 1000 Pelangi.
Danone SN Indonesia beroperasi di 4 (empat) perusahaan, yaitu PT Sarihusada Generasi Mahardhika, PT Nutricia Indonesia Sejahtera, PT. Sugizindo, dan PT. Nutricia Medical Nutrition. Saat ini, Danone SN Indonesia memiliki 1 kantor pusat, 4 pabrik, dan 31 kantor wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia, didukung oleh 2.458 karyawan.
Jadi kesimpulan dari #BicaraGizi2022 ini mari kita bangkitkan kembali keluarga yang sehat dan harmonis pasca pandemi agar mendapatkan kecerdasan jiwa raga. Selamat Hari Keluarga Nasional 2022!!
Point ke-4 saya setuju, kadang kita juga perlu mendengar keluh kesah dan curhatan anak-anak. menjadi pendengar yang baik bagi anak2 memang harus dilakukan orang tua sembari memberikan arahan dan solusi terbaik bagi tumbuh kembang mereka.
BalasHapusSetuju banget mas, ternyata mereka butuh ruang untuk curhat tapi selama ini orangtua sering sibuk
Hapusbagi anak, masa transisi pasti sangat berat dan penuh emosional. dan jika sudah jadi ibu harus pinter gimana cara nenangin si kecil. harus banyak-banyak belajar lagi nih saya supaya nanti kalau punya anak bisa handle mereka dengan baik.
BalasHapusAku pun masih banyak belajar, apalagi perkembangan jaman generasi Z makin cepat berubah
HapusTips ketiga memang benar banget mom. Karena dengan pencernaan yang sehat anak bisa menyerap pembelajaran dengan baik dan bisa bersosialisasi dengan baik juga. Semua memang diawali dari badan yang sehat
BalasHapusIya ya, tubuhnya sehat maka dia pun lebih percaya diri, thanks sharingnya mom
HapusTips keempat ini yang harus diasah betul ya. Saingannya berat banget, gadget. Karena semakin sering anak bersama gadget, maka semakin berkurang waktu bersama keluarga, dan makin sulit mengasah kemampuan ini
BalasHapusBener banget, masa transisi ini bikin dilema, serba gak enak, emosi pun harus dijaga
HapusSelain gizi yg lengkap Dan tepat harus Juga diperhatikan perubahan emosionalnya ya... Intinya hrs Ada pola Asuh yg Kolaboratif
BalasHapusYes setuju banget sama kamu
HapusJadi harus makin peka dan perhatian sama anak ya.. kadang dengerin curhatan mereka dan kita tanggapi saja sudah seneng banget mereka, apalagi kalau kita dukung dan kita tanggapi dengan tuntas
BalasHapusTernyata begitu saja bikin mereka bahagia ya, sederhana sebenarnya
HapusEhm yess banget kalau anak udah ngomong gitu, memang di masa ia mulai berteman itu orang tua juga perlu memperhatikan dan mengajaknya bercerita. Apalagi di masa itu emosionalnya masih rentan banget. Terima kasih sharingnya!
BalasHapusJadi banyak intropeksi deh nih hehe
HapusDari ini kita jadi paham ya Mbak. Bagaimana urusan emosional dan sosial anak tuh butuh banyak perhatian. Jadi bukan hanya urusan gizi, makanan dan pendidikan formal saja. Semoga dengan adanya event seperti ini, kesadaran akan 2 hal ini bisa semakin berkembang dan banyak menyadarkan banyak elemen di masyarakat.
BalasHapusBetul kak, kadang sosial emosional anak sering terabaikan, terlalu fokus pada yang lain
Hapusanakku juga kadang gitu, protes juga emaknya sibuk depan laptop dia enggak sempat cerita, tapi akhirnya kita berdamai ngobrol dari hati ke hati di malam hari dituntaskan sebelum tidur.
BalasHapusHiks, i feel you, terimakasih sudah berbagi cerita. Perlunya ngobrol sama anak ya
HapusSemoga sudah membaik si kakak ya, Mba. Ga disadari ternyata apa yang kita lakukan saat mereke belia membekas dan jadi trauma.
BalasHapusSemoga juga si bungsu segera bisa adaptasi di lingkungan barunya.
Keren banget ini tema yang diangkat Danone di Hari Keluarga Nasional. PR banget untuk tumbuh kembang anak di masa depan memang ya aspek sosial emosional ini.
Iya kak, terimakasih atas supportnya. Semoga anak-anak selalu sehat dan bahagia ya
HapusDanone SN Indonesia emang selalu terdepan ya?
BalasHapusGak hanya gizi anak secara fisik juga nonfisik
Pas banget mengisi materi ini dalam Hari keluarga Nasional 2022
Bangeeet, memang konsen mendukung tumbuh kembang anak dan kesehatan keluarga
HapusDuh. Aku juga merasa khawatir tentang point keempat ini. Adikku jadi sering mengurung di kamar. Baca cerita si kakak. Aku jadi kepikiran. Apakah adikku juga begitu ya.
BalasHapusKarena ada kalanya mereka butuh untuk didengarkan. Nggak terus-terusan memendam rasa.
Jujur aku juga kaget, kirain selama ini aman-aman aja, ternyata pas dikorek banyak banget keluh kesahnya
HapusMemang ya mbak, masa transisi seperti ini anak anak butuh penyesuaian
BalasHapusTentu juga kita harus memperhatikan tumbuh kembang anak
Dengan selalu memberikan asupan makanan gizi seimbang
Iya membuka lembaran baru pasca pandemi nih
HapusKomunikasi alias ngobrol ini jadi kunciannya ya mbak, karena bisa terjalin hubungan yang merekat juga dan bisa makin paham. Noted nih buat nanti daku berkeluarga
BalasHapusBener kak, selama ini kita cuma fokus kepada kesehatan jasmani, padahal ngobrol itu juga bikin sehat jiwa dan pikiran
HapusDengan adanya webinar yang digelar oleh Danone ini semoga lebih banyak keluarga yang bisa terbantu dan semakin paham bagaimana menyiapkan kondisi sosial emosional anak di masa transisi ini.
BalasHapusAamiin yaa robbal alamin terimakasih banyak doanya kak
HapusMenjadi orang tua adalah proses pembelajaran ya mbak. Harus ada kolaborasi dengan pasangan yakni suami, demi menjaga emosional anak tetap stabil.
BalasHapusYes harus lebih banyak belajar dan belajar lagi, kalo perlu sampe S4 hehe
HapusIni banget deh yang jadi keresahan aku ke dua anakku yang masih kecil. Walopun nampak enjoy di rumah terus, tapi ada sisi emosi yang sekarang mudah meledak. Alhamdulillah berkat kerjasama aku dan bapaknya, dan sudah mulai sekolah offline, serta banyak aktivitas, emosi ini sudah lebih bisa dikendalikan. Semoga ke depannya semakin membaik.
BalasHapusKeren, terbukti ya kak kolaborasi orangtua membuat anak jadi stabil emosinua
HapusPandemi jadi mengubah banyak hal ya mba. Termasuk perilaku si kecil. Pentingnya peran orangtua mendampingi masa transisi anak
BalasHapusSemua aspek jadi berubah deh rasanya, gak sangka merubah kejiwaan anak-anak
HapusTantangan orangtua selain zaman juga masing-masing fasa pertumbuhan ananda saat berkembang menjadi orang dewasa yang sesungguhnya. Bukan anak kecil yang terperangkap pada tubuh orang dewasa.
BalasHapusWah benar sekali kak, terimakasih sharingnya
Hapuspola asuh kolaboratif ini emang paling dicari, soalnya namanya orangtua baik suami dan istri harus bahu membahu dalam tumbuh kembang anak.
BalasHapus