SI PEMALU YANG GENGSI JUALAN. CURHAT BISNIS : Mulai Es Mambo, Ikan Hingga Urusan Popok, Bisnisku Bagai Anak Tangga.
Bermula dari kebutuhan
mendesak, pada tahun 2007, aku si wanita pemalu dan memiliki sifat gengsi, yang
tidak terfikir sama sekali untuk menjadi pedagang, mencoba peruntungan dari berjualan
es mambo. Sekedar pengisi waktu kosong. Tiap waktu yang tersisa dalam mengurus
buah hatiku Shidqi, kusela waktu untuk memasak air dan gula, kemudian kutambah
sirup, membungkus satu persatu air sirup tersebut, memasukkan kedalam freezer,
dan keesokan paginya kutitipkan pada warung yang ada di komplek kecilku ini.
Tiap sore kuambil dan kuhitung keuntungannya, yah..ternyata minat anak-anak
terhadap es mambo pada jualan perdanaku ini belum menyenangkan hati.
Tak putus asa, tiap
hari tetap kulakukan hal yang sama, masih dalam jumlah keuntungan yang biasa,
sang ibu warung hanya berkata membuat laporan: “kalah saing sama minuman gelas
‘gopek’ mbak”, aku hanya tersenyum. Tiap bulan terus kulalui, sang ibu warung
juga tak bosan memberi laporan: anak-anak sebenarnya mau, cuma gak boleh jajan es, jadi yang beli hanya
anak-anak remaja saja”, aku hanya bisa tertawa dan ucapkan terimakasih. Hingga
dalam waktu setahun, keuntungan yang paling membahagiakanku adalah pada bulan
April, hanya satu dari duabelas bulan, es mambo jualanku ludes dalam sehari.
Setahun itu terasa cukuplah bagiku, termenung mengingat kisah dulu
almarhum ibu pernah mengingatkan, “dulu waktu ibu masih kerja menjadi suster,
ibu tidak pernah malu untuk berjualan combro, dek. Ibu jual kepada
dokter-dokter di sana. Kamu keturunan Padang, harusnya kamu mempunyai jiwa pedagang,
tidak boleh malu, buang jauh-jauh gengsimu itu!”. Apa mau dikata? Gak mau kok dipaksa, memang gak
bakat, gerutuku. Blep! Terasa kenangan itu terhapus dari ingatanku.
BAWAAN HAMIL, JADI DOYAN JUALAN
Pada akhir 2009 aku hamil
anak kedua, mengidam pepes ikan. Kebiasaanku membuat pepes menginspirasi suamiku,
ia berkata, “cobalah kamu buat pepes yang banyak, nanti saya bantu menjual
kepada teman-teman guru. Daripada kamu makan sendiri, lebih baik sekalian jalan,
kan?”. Wow, tawaran yang cukup bagus, toh aku bisa menyalurkan bakat memasak, tanpa
perlu berhadapan langsung dengan pembeli, sehingga tidak harus menahan malu dan
gengsiku yang besar.
Kusetujui usul suamiku,
bisnis kumulai. Dari membeli ikan 5 kilogram di tempat pemancingan,
membersihkan ikan, membumbui, menata dan membungkus dengan daun pisang, memasak
hingga matang, semua kulakukan sendiri setiap malam, begadang dan hanya hanya
bermodalkan panci presto ukuran kecil. Alhamdulillah dalam waktu dua bulan, aku
bisa menambah peralatan presto ukuran lebih besar sehingga dapat memuat pepes
ikan lebih banyak, lebih menghemat waktu, dan laris manis.
Namun dibalik manisnya
usaha bisnisku itu terselip juga rasa getir, saat tiba-tiba motor suamiku mogok
tak bisa berangkat ke Jakarta, tempatnya bekerja sekaligus tempat ia menawarkan
titipan pepes ikan buatanku. Akhirnya, dengan jarak tempuh pulang pergi 60 KM,
suamiku berangkat dan kembali menggunakan sepeda. Sungguh membuatku terharu,
apalagi tetap laris manis. Mantap bukan? Mungkin bagi anda itu biasa, bagi
kami, itu luar biasa, haha!
Kegetiran yang lain adalah saat ide pepes ikan isi daun singkong buatanku itu ditiru oleh rekan bisnisku sendiri. Awalnya ia membeli banyak untuk dijual kembali di warung makannya, kini ia membuat resep sendiri dan sangat dikenal. Tidak lagi mengambil masakan dariku. Putus hubungan. Namun aku hanya bersyukur, mudah-mudahan hal itu bisa membuat ladang amalku nanti, amin.
Akhirnya seiring usia kehamilanku menginjak bulan ke-7, aku mulai tidak kuat lagi. Sudah kepayahan dengan rasa kontraksi yang tidak kunjung reda. Dokter menyuruhku istirahat total, menasihatiku untuk melepaskan kegiatan bisnisku itu. Ah, terasa gundah. Aku mulai merasakan nikmatnya berjualan, nikmatnya ketika hasil jerih payah kita ada yang menyenangi dan menghargai. Haruskah kulepaskan?
“Ya Allah, di saat aku mulai menyukai
bisnis itu, Engkau berkehendak lain, aku pasrah, namun berikanlah petunjuk dan
kebaikan yang lain. Aku telah merasakan bahwa Engkau memberikan rizki yang
ni’mat dalam usahaku itu,” bisikku dalam do’a, memohon kemantapan hati.
Yap, demi kesehatanku, dengan mantap kulepaskan bisnis itu, walaupun para pelanggan masih sering menanyakan, aku sudah tidak lagi resah. Kuisi waktu luang itu dengan berjualan makanan kering. Kegiatan yang tidak membuatku terlalu lelah. Aku hanya membelinya secara grosir, kutimbang satu persatu dalam bungkus kecil, dan dijual dengan harga Rp. 2.000,- per kantong. Sebagian kutitipkan kepada suami untuk dijual kepada teman-temannya, sebagian lagi kutitipkan kepada penjual jamu dan sayur keliling komplek. Alhamdulillah, laris manis juga. Namun sayang, hanya bertahan dua bulan saja bisnis itu berlangsung, karena saat itu aku harus betul-betul menyiapkan diri untuk melahirkan.
BISNIS PERTAMA, RUGI BESAR
Tak
kunjung harapan terhenti begitu saja, disaat hari-hari melahirkan akan tiba, aku
masih melirik pada bisnis popok kain anti bocor, bisnis yang pas untuk
kebutuhan bayiku nanti. Aku mulai mencari barang dan produsen yang sekiranya
pantas untuk modalku saat itu melalui internet. Aku langsung tergiur dengan
kalimat-kalimat yang terdapat dalam promosi popok tersebut. Dengan memberanikan
diri, langsung menjadi agen. Tanpa teliti terlebih dahulu, tanpa uji coba, tanpa
ragu-ragu kupesan popok dalam jumlah yang banyak. Dengan percaya diri, mencoba
menawarkan kepada teman-teman serta tetangga yang mempunyai bayi. Meyakinkan
para calon pelanggan bahwa produk ini bagus dan menghemat pengeluaran jatah biaya
bulanan untuk popok sekali buang. Alhamdulillah mereka mulai memesan walaupun
belum menerima barang.
Namun ternyata,
bagaikan petir di siang hari tanpa hujan, aku merasa ditipu oleh produsen popok
itu. Tak disangka, inilah bisnis online, tanpa bisa memilih dan melihat barang,
hanya mengandalkan kepercayaan, pesananku dikirim. Namun setelah paket datang,
kuterima popok-popok dengan kualitas yang tidak memuaskan hati, bentuk dan
bahannya tidak seragam, sungguh tidak menarik, sedikit merasa pesimis, tetap
kujual kepada pembeli yang sebelumnya telah memesan. Ragu bercampur malu
kupendam dalam-dalam. Sampai akhirnya Agustus tahun 2010, aku melahirkan
seorang bayi perempuan yang kami beri nama Selma, sang penyelamat yang
kehadirannya memberi kekuatan jiwaku untuk terus berani berbisnis.
Dalam keadaan masih lemah sehabis bersalin, aku menghubungi sang produsen, kuceritakan semua keluhanku sebagai pengguna dan penjual, namun yang kuterima hanyalah jawaban membela diri, berbagai alasan dilontarkan, menjelek-jelekan kualitas popok yang lain, dan yang paling menyebalkan adalah ketika kudesak mengapa setiap barang memiliki kualitas yang berbeda dan cepat bocor?, akhirnya mereka mengakui bahwa mereka juga kena tipu, supplier bahan baku mitra mereka memberikan bahan baku berkualitas rendah pula. Sehingga popok yang dijual kepadaku adalah betul-betul popok kwalitas rendah. Namun ketika aku menuntut ganti rugi agar mengembalikan sisa uangku, mereka menolak jika aku mengirimkan kembali popok-popok tersebut. Ah, sungguh menjengkelkan!
Apa daya tak kuasa menahan sedih, sempat putus asa dan sangat malu, akhirnya kujual sisa popok-popok itu dengan harga dibawah harga yang ditetapkan oleh produsen. Sempat pula menerima keluhan beberapa konsumen yang juga sebagian temanku, mengatakan bahwa popok tersebut bocor tidak sesuai dengan harapan mereka, dan ketika kucoba pakaikan pada bayiku, ternyata benar, cepat bocor. Ah, aku tidak berniat menipu, tapi merasa ditipu dan rugi. Sungguh sakit menahan rasa ini, khawatir teman-teman dan tetanggaku itu tidak lagi menaruh kepercayaan padaku. Padahal selalu kuingat pesan almarhum ayah untuk selalu jujur dalam bersikap. Selalu mengingatkan untuk mengambil prinsip Rasulullah SAW dalam beretika dagang: jujur, amanah, cerdas, dan pandai menyampaikan.
Untuk itulah, aku masih mau memaafkan. Dengan niat baik aku selalu memberikan kritik dan saran kepada sang produsen, tak peduli pulsa telepon maupun sms habis hanya untuk berdiskusi bagaimana supaya popok tersebut tidak cepat bocor. Akhirnya lambat laun mereka mau menerima saran, mereka mulai merubah penampakan popok, memodifikasi, dan merubah pola. Mereka memberikan untukku sampel agar bisa kugunakan sebagai percobaan produk baru. Aih, masih bocor.
Saat itu pun aku mulai merasa
bosan bekerjasama dengan produsen produk coba-coba. Jujur, aku merasa tetap
dirugikan. Kenapa? karena popok yang dulu kubeli banyak hanya teronggok dipojok
kamar tanpa ada pembeli. Aku tidak kuasa untuk menjual produk yang tidak
memuaskan. Akhirnya kubagikan secara gratis untuk saudara-saudaraku. Itu cukup
membuatku puas. Dan dengan izin suami pula, dengan puas kutinggalkan bisnis
popok mengecewakan itu. Bye…
ANAK BAWA REJEKI MASING-MASING
Namun kehadiran Selma
betul-betul membawa angin segar.
Dengan rasa penasaran, saat kucari-cari
kembali produk popok merk lain, suatu ketika tanpa sengaja kutemukan popok yang
lucu dan menarik. Tak mau gegabah, aku membeli popok itu untuk sebagai contoh
uji coba, ternyata sangat memuaskan. Popok buatan anak negeri tetapi kwalitas
luar negeri. Tidak kutemukan kebocoran yang fatal. Bahkan sempat kupakaikan
untuk mengajak pergi bayiku menginap. Namanya PEMPEM
Tidak pikir panjang, segera aku
bergabung menjadi reseller. Tak hanya
itu, segala kebutuhan Selma, pernak-pernik yang lucu kubeli dengan harga
grosir. Sebagian kupakaikan untuknya dan sebagian lagi kujual. Kumulai
beranikan diri mengembangkan sayap untuk berjualan melalui media internet, jejaring
social facebook, dan layanan iklan
gratis.
Semua kegiatan bisnis
ini kuabadikan melalui foto, para model dalam foto-foto tersebut adalah
suamiku, aku, Shidqi, dan bayiku Selma. Kupajang dengan percaya diri di facebook dan tidak lupa kuberitahu teman-teman. Wow, ternyata tanggapan mereka
bermacam-macam, ada yang tertawa meledek, suka, bahkan ada yang ikut tertarik
membeli barang-barangku itu. Di titik itulah rasa percaya diriku mulai hidup
kembali. Kuberanikan diri mencairkan dana deposito warisan orangtua untuk membuka
lahan-lahan baru, untuk produk anak-anak dan bayi dengan tujuan agar kedua
anakku Shidqi dan Selma bisa ikut menggunakannya juga. Dari situlah, inspirasi datang
dan diriku mulai membuka toko online
bernama: Shidqi Selma Shop.
Pada bulan Oktober
tahun 2010, kami mencoba peruntungan membuka lapak kecil di pinggir trotoar
kawasan Pemda Cibinong. Tiap hari Minggu, kawasan itu memang menjadi lahan
tempat pedagang kaki lima berjualan. Mulai pagi hari aku dan suami mengangkut
barang-barang untuk diletakkan di sana. Kami terpaksa bolak-balik karena motor
hanya bisa memuat sedikit. Anak-anak terpaksa kami tinggal sebentar. Selesai
lapak kami beres, barulah mereka kami bawa mereka untuk ikut berjualan. Ah,
membayangkannya saja cukup menyedihkan. Bayi Selma yang baru berusia dua bulan,
kutidurkan pada alas kasur, diatas trotoar tempat kami berjualan.
Sesekali
kugendong dengan Hanaroo Babywrap, sebagai contoh dari jualan kami. Keuntungan berjualan
tidak seberapa, hanya habis untuk iuran yang dimintai oleh para petugas-petugas
nakal maupun preman berkedok seragam. Belum lagi untuk jajan sarapan kami
selama menunggu lapak. Setelah melalui beberapa minggu dalam dua bulan, kami
putuskan tidak lagi berjualan di sana. Cukup untuk pelajaran kami dan
anak-anak, bahwa hidup itu harus berusaha, dimana pun berada.
Seiring anak-anakku
mulai tumbuh berkembang, bisnis semua kulakukan sendiri. Membeli barang, menjalin
kerjasama, memfoto barang, memasangnya dan memberikan keterangan. Jika ada
pemesan yang tertarik, aku merangkap sebagai operator dan distributor. Sambil
menyuapi anak-anak, kubalas pesan singkat mereka. Kuberikan simbol senyum pada
setiap balasan pesan, agar memberi kesan bahwa aku adalah penjual yang ramah,
walau saat itu mungkin aku sedang repot dan kesalnya mengatur Shidqi dengan
kedisiplinan, memandikan dan mengganti baju anak-anakku, atau sedang
membersihkan tumpahan makanan dan minuman yang dilakukan bayiku Selma.
Bahkan harus tetap bersabar atas
permintaan calon pelanggan yang sedikit menggemaskan, menawar dengan tawaran
yang tidak pantas, atau pernah sesekali mereka tidak jadi membeli, hilang tanpa
kabar. Namun kujadikan angin lalu. Tiada kemarahan yang harus kupendam. Tetap kubungkus
rapi pesanan mereka-mereka yang telah membeli dan kukirim segera. Segalanya
demi kepuasan pelanggan. Kini mereka pun bagaikan teman dan saudara, ada rasa
kangen saat kami tidaklah lagi berkomunikasi. Walau demikian, kami tetap
menjaga privasi masing-masing.
Mulai Bangkit
Bulan bertemu bulan,
sampai kini tahun 2011, genap setahun perjalanan bisnis online yang kujalani. Dalam waktu perjalanan itu kutemukan
mitra-mitra produsen dan supplier yang baik, amanah, dan jujur. Terkadang kami
melakukan perdagangan sistem dropship.
Kudapatkan juga kerjasama yang baik dari jasa pengiriman barang, mereka mau
menjemput barang kirimanku walau hanya satu barang, itu pun tidak sampai 1
kilogram beratnya. Ah, luar biasa profesionalisme mereka. Kubuka rekening pada
dua bank, adanya fasilitas internet banking
dan mobile banking dunia terasa dalam
genggamanku.
Dengan dua anak-anak yang masih sulit kutinggalkan, segala kerja
bisnisku masih bisa diandalkan hanya di dalam rumah. Adanya bantuan dari para
reseller bimbinganku, dan dukungan penuh dari suami tercinta, Alhamdulillah
semua terasa terbantu. Suamiku mau mengerti. Walaupun rumah kecil kami tidak
pernah terlihat rapi, namun ia tidak sekali pun marah, justru sesekali ia
membantu memandikan anak-anak, mencuci piring, menyapu bahkan bergantian
mengajari Shidqi mengaji. Karena jika suamiku tidak dirumah, aku benar-benar
menjalankan semua itu sendiri.
Kini kurasa ini adalah kenikmatan,
kuyakini ini mungkin jawaban Allah SWT atas kesedihanku setahun yang lalu. Jika
kita tetap optimis, berserah diri kepadaNya, maka Dia bukakan pintu rejeki yang
tidak disangka-sangka oleh logika kita sebagai manusia yang lemah.
Alhamdulillah, dalam setahun ini kurasakan omset hampir mencapai puluhan juta rupiah,
yang terlaris adalah produk popok idamanku, sejumlah kurang lebih 1000 buah popok laris
terjual ke seluruh Indonesia. Gendongan ala kanguru, yang juga disukai Selma, serta
pernak pernik yang lucu dan unik ikut meramaikan keuntungan bisnis ini. Keuntungannya
bisa kurasakan untuk menambah uang saku dapur dan sekolah anakku Shidqi. Sedikit
membantu kebutuhan rumah kecil kami. Dan sebagian keuntungan yang lain
kubelikan untuk menambah produk bisnis yang lain.
Kini tidaklah lagi ada
rasa putus asa dan malu, telah terasa darah dan jiwa semangat dari almarhumah
ibuku kian membara. Ilmu yang datang selalu kuterima dengan baik sebagai ajang
melatih diri. Serta dukungan suamiku yang baik dan penuh pengertian, aku tetap
bersabar menjalani bisnis ini. Akankah bertahan? Insyaallah, kami hanya
berusaha dan hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui dan Maha Penentu.
Cerita ini juga diceritakan dalam buku antologi Curhat Bisnis
Kebetulan saya dan istri sedang merintis usaha yang saat ini baru ditawarkan dari mulut ke mulut. Pinginnya sih mau mencoba untuk buka lapak juga. Insya Allah kami akan menekuni usaha ini sebagai persiapan pensiun dini, sudah capek menjadi kuli heheheh.
BalasHapusJika berkenan, mohon informasinya mengenai peraturan dan mekanisme buka lapak di pemda cibinong ini. Kalau harus daftar dulu, ke siapa daftarnya. Kalau ada retribusinya, berapa besarannya dan dibayarkan tiap apa. Sebelumnya terima kasih atas perhatiannya..
selamat mencoba bisnis barunya ya mbak, selalu tekun dan mencintai usahanya itu yg paling membuat kita jadi semangat.
Hapusoiya utk buka lapak di Pemda sekarang sudah dilarang pak, sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa saja yg masih. Dulu sih gak ada syarat apa-apa, cuma banyak punglinya aja :)