Lathifa termenung. Bingung. Jari lentiknya
mengetuk-ngetuk meja kerja, pikirannya buntu, kepalanya terasa pusing. Bagaimana
merangkai kata-kata yang baik dan tidak menyinggung perasaan ibu untuk disampaikan
nanti. Bagaimana cara menegur ibu yang sering kali memakai telepon untuk
menelepon teman-teman beliau. Tagihan telepon rumah akhir-akhir ini terus membengkak.
Lathifa agak kesal. Karena gajinya yang seadanya harus menanggung semua biaya
kebutuhan rumah. Listrik, telepon, makan sehari-hari, iuran ini itu, belum lagi
ongkos ia bekerja tiap hari. Lathifa ingin hidup hemat, setidaknya ia bisa
sedikit menabung untuk keperluan hidupnya saat akan berumahtangga nanti. Kedua
kakak Lathifa sudah menikah, pisah rumah, namun kehidupan mereka belumlah cukup
mapan, sehingga ayah dan ibu pun tak pernah mengganggu meminta ini itu dari
mereka.
Ayahnya sudah tidak bekerja, pensiunan swasta, tanpa
pesangon, tanpa tunjangan hari tua. Masa tuanya dihabiskan untuk ikut pengajian
dan berdakwah di berbagai masjid. Kadang dalam tempo 40 hari ayah tidak pulang.
Mungkin ibu kesepian. Sesekali setelah pulang mengajar di majlis ta’lim, ibu
segera duduk, memencet angka-angka pada telepon, dan menelepon siapapun yang
beliau inginkan. Sore menjelang malam, setiap Lathifa pulang bekerja, sambil
ditemani teh hangat, ibu akan langsung bercerita bahwa beliau telah menelepon
dan berbicara dengan ibu ini, ibu itu, ibu anu, dan ibu lain-lain. Terlihat
raut mukanya gembira. Begitu pun tiap malam selepas sholat Isya, sesekali
telepon berdering. Dengan sigap ibu mengangkat gagang telepon, dengan suara
ceria membalas setiap obrolan. Ternyata itu dari teman ibu. Pantas saja begitu
senang.
Namun lama kelamaan gundah hati Lathifa saat
menerima laporan bahwa tagihan telepon mencapai Rp. 150.000. Biaya yang cukup
melonjak dari anggaran yang telah diperkirakan sebelumnya oleh Lathifa.
Bulan-bulan lalu biasanya hanya sekitar Rp. 80.000 sampai Rp.100.000 saja.
Mulutnya berdesis. Hatinya menuntut untuk memberanikan diri bicara kepada ibu.
Harus. Ibu harus tahu hal ini. Menjelang isya, Lathifa baru saja tiba di rumah.
Letih tubuhnya membuat dirinya semakin gundah. Segera ia masuk kamar mandi dan
berbenah diri. Sayup-sayup dari dalam kamar Lathifa mendengar ibunya sedang
tertawa terbahak-bahak. Dengan siapa? Kami di rumah ini tinggal berdua saja.
Lathifa mengintip dibalik pintu, melihat apa yang terjadi.
Tiba-tiba matanya terbelalak. Ibu sedang menelepon.
Grrrr…sudah berapa lama? Sudah menghabiskan pulsa berapa?. Padahal Lathifa
cukup lama berada di dalam kamar mandi,. Dengan terburu-buru, ia segera
membalut kepalanya yang masih basah dengan handuk. Mendekati ibu yang masih
asyik menelepon. Lathifa duduk di samping ibu, menunggunya sampai selesai
menelepon. Hatinya berdegup. Bercampur aduk. Antara kesal, lelah, dan khawatir.
Ibu meliriknya, alisnya berkerut, namun mulutnya masih berkomat kamit. Suara
ibu mulai terdengar aneh bagi Lathifa. Ia tidak bisa menyembunyikan
kekesalannya pada ibu.
Ibu menyadari. Dengan tenang akhirnya ibu
menyelesaikan pembicaraannya di telepon. Setelah meletakkan gagang telepon, ibu
bertanya mengapa Lathifa bersikap aneh?. Tanpa memberikan kesempatan lagi
Lathifa segera memecahkan kekesalannya kepada ibu. Ia keluarkan seluruh keluh
kesah isi hatinya. "Tagihan naik, gara-gara ibu sering menelepon. Lathifa
khawatir jika sering seperti ini gaji tak cukup untuk disisihkan menabung. Ayah
ibu sudah tidak bekerja. Kakak sudah punya masalahnya sendiri. Beban Lathifa
terasa berat. Sungguh berat merasa menanggung perekonomian sendiri", tak lama
tangis Lathifa pecah, tersedu-sedu.
Ibu diam tak berkata-kata sedikit pun. Beliau menunggu tangis Lathifa terhenti. Tertunduk dan
berucap bahwa yang tadi meneleponnya adalah sahabat lamanya. Bukan Ibu. Ibu baru menemukan nomor telepon sahabatnya itu. Kebetulan
tadi pagi ibu membongkar dan membersihkan lemari bukunya. Siang hari ibu sempatkan
sebentar mencoba menghubungi nomor tersebut, berharap sahabatnya masih ada. Ibu
mengaku, beliau tidak lama memakai telepon, karena sahabat ibu berjanji akan
menelepon ibu kembali. Malam ini, sahabat ibu yang bergantian menelepon.
Ibu
sangat gembira, bahagia, namun tiba-tiba sedih jika melihat Lathifa seperti
itu. Sepertinya kebahagiaan hati ibu tidak seimbang. “Ibu kesepian, nak. Ayah masih dinas
menjalankan tugas dakwahnya. Sedangkan engkau anak ibu yang masih bersama di
sini, pergi pagi hari dan pulang malam hari. Selepas mengajar, tetaplah ibu
sendiri. Ibu memang tidak bisa membayar tagihan itu, namun ibu yakin pasti ada
jalan jika kita menyambungkan silaturrahim kepada orang yang telah lama putus,
lama tidak bertemu. Allah Maha Tahu, nak. Maafkan ibu. Kudoa’akan semoga
rejekimu dan rejeki kita bertambah, walau saat ini terasa sempit. Hapuslah air
matamu!”
Lathifa kaget. Tidak menyangka bahwa ibu tidak
menelepon malam ini. Tidak ada pulsa yang terbuang. Ibu hanya menerima telepon
dari sahabatnya itu. Lathifa merasa bersalah. Belum sempat berucap kata maaf,
ibu sudah menarik tangan Lathifa mengajak makan bersama. “Mari kesini! ibu
sudah buatkan bakmi kesukaanmu. Ayo, ibu temani kamu makan”. Ah ibu, sungguh
mulia dirimu.
Keesokan malam, seperti biasa Lathifa menemani ibu
menonton televisi. Tiba-tiba ibu keluar kamar dan menyodorkan bungkusan besar
kepada Lathifa. “Bukalah, nak!” Ucap ibu. Dengan heran Lathifa membukanya
perlahan. Didalamnya terdapat dua setel baju gamis, dua jilbab, tas, dan sandal
selop cantik. Dari mana ini, bu?
“Dari sahabat ibu. Yang kemarin malam menelepon itu.
Dia sekarang menjadi istri yang hebat, suaminya juga sukses. Ibu diberi
oleh-oleh darinya. Lihat itu, dan pakailah salah satu yang kamu suka. Ibu
berikan untukmu. Oya, dan iniii…”. Terhenti ucapan ibu. Ada apa ya? Pikir
Lathifa. Segera tangan ibu mengeluarkan amplop dari kantung
gamisnya. Dan memperlihatkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Lima lembar.
“Kau lihat, Lathifa? Allah Maha Tahu, ini buktinya. Kita nanti bisa membayar semua
tagihan telepon yang memang membengkak karena ibu. Ini ibu serahkan kepadamu.
Segera lunasi. Sehingga tidak ada lagi bebanmu itu. Ini mungkin tidaklah
seberapa, namun sadarkah kau nak? Rejeki yang tidak disangka-sangka akan hadir
jika kita bertawakal kepada Allah yang Maha Kaya dan tidak lupa menyambungkan
silaturrahim. Kita akan mudah dalam melakukan apapun, selama kita ingat masih
ada Allah yang pasti tidak ingkar janji. Ingatlah itu, nak!”.
Lathifa hanya diam sambil menatap tidak percaya. Wajah ibunya yang sudah tergaris raut tua namun terlihat anggun nan teduh
dihadapan Lathifa. Tak terasa air mata Lathifa berlinang, menangis, dan tidak
lupa mengucapkan kata syukur. Alhamdulillah, Engkau berikan kesempatan diri ini
lahir dari rahim seorang ibu yang penuh ketabahan dan keelokan hati. Maafkan Lathifa, Bu.
Ya, Allah
ampunilah dosaku dan ampunilah kedua orangtuaku dan sayangilah mereka,
sebagaimana mereka menyayangiku dari kecil hingga besar seperti ini. Amin
Foto Keluarga ibu.. |
Cerita ini kupersembahkan kepada anak-anakku (mengenang alm.ibu, nenek mereka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Agar tidak spam pada komentar, gunakan akun Google kamu. Atau kirim email ke: info.narasilia@gmail.com. Thank you ❤